BERANDA

Selasa, 21 Desember 2010

Can't Stop Us Now

Beautiful Story of Miyuki Kobayashi

Sekarang sudah memasuki bulan Juni. Sebuah bola sepak menggelinding di tengah lapangan. Seorang cowok berseragam putih bernomor punggung sepuluh dengan napas yang memburu dan otot kaki yang tegang melompat terbang seperti burung yang mengepakkan sayapnya, lalu menyepak bola. Sesaat waktu terasa berhenti. Bola bergulir masuk ke gawang.
Ya, aku melihatnya. Dia mempunyai sayap yang tak tampak sehingga bisa melompat di udara seperti tadi. Sesuai dengan namanya, Tsubasa (sayap).
Kapten klub sepak bola itu ganteng, kan? Sepertinya setiap hari aku bisa jatuh cinta padanya. Namanya Tsubasa Oishi, sedangkan namaku Kaho Hirooka. Aku adalah manajer klub sepak bola. Aku dan Tsubasa sudah berpacaran selama satu tahun. Jadi, cowok ganteng itu pacarku. Aku jadi malu sendiri.
”Terima kasih!”
”Sampai jumpa!”
”Bye, bye!”
Latihan sepak bola sudah selesai, kami mau pulang ke rumah masing-masing. Di gerbang sekolah, kami berpisah dan saling melambaikan tangan. Aku dan Tsubasa sekarang sudah naik ke kelas tiga SMP.
” Kaho, besok bikinin biskuit lagi, ya!”
”Mau lagi?”
”Boleh kan? Lagi pula kamu nggak ada kerjaan, kan?”
Huh! Dasar Rihito! Nama lengkapnya Rihito Arisue. Dia anggota klub sepak bola, kelas dua SMP. Padahal dia adik kelasku, tetapi dari awal sudah sok akrab dan cerewet.
Dia cocok sekali pakai kemeja putih seragam sekolah kami dengan dasi acak-acakan. Wajahnya tampan dengan mata yang lebar. Rihito tampak lebih dewasa daripada tahun lalu.
”Enak saja bilang aku nggak ada kerjaan! Sebentar lagi aku ujian kelulusan!”
”Semuanya sibuk kursus. Tapi yang nggak pergi kursus Cuma Kaho saja.”
”Karena di rumah, Kak Maho sudah jadi guru privatku”
”Oh, iya. Wah, enak kalau di rumah ada mahasiswa Universitas Tokyo.”
Maho adalah kakak tertuaku. Mulai tahun kemarin, dia menjadi mahasiswa tingkat dua di Universitas Tokyo.
”Malam ini kami mau belajar buat persiapan ujian akhir.”
”Padahal biskuitnya Kaho yang paling enak. Aku kan cerewet soal rasa.”
”Ya, sudah. Tapi yang plain saja, ya!”
”Boleh. Lalu, kemarin yang rasa teh juga enak, lho!”
”Oke, kubuatin malam ini.”
”Benar? Kalau begitu malam ini aku pergi ke rumah Kaho untuk makan.”
”Kamu mau datang lagi?”
”Tunggu, tunggu! Ini nggak bisa dibiarin!” Tiba-tiba Sumire memotong obrolan kami.
Sumire Ito adalah teman sekelasku. Sama seperti aku, dia juga manajer sepak bola. Sumire pun kalau nggak cerewet seperti itu, pasti cantik dan jadi pujaan cowok.
”Rihito mau ke rumah Kaho?”
“Ya, orang tua kami kan teman akrab.”
”Benar Cuma itu alasannya?”
”Hm, sebenarnya aku pingin merebut Kaho dari Tsubasa.”
Lagi-lagi dia berkata seperti itu! Tentu saja Tsubasa yang ada di samping Sumire kaget. Tetapi Sumire malah teryawa sinis.
”Rihito, sebaiknya kamu menyerah saja! Kamu tahu kan bagaimana hubungan mereka? Hei, Kaho, Tsubasa, kalian sudah pakai kupon yang kuberikan waktu karyawisata sekolah, kan?”
Hyaaaa!
”Hei, Sumire! Jangan teriak-teriak gitu, dong!”
Maksud kupon itu adalah potongan tarif untuk Love Hotel. Ah, tapi jangan salah sangka dulu! Aku belum pernah masuk ke tempat itu sekalipun. Sebenarnya Sumire lah yang memaksa kami untuk menerimanya karena hotel itu dikelola papanya. Hubunganku dan Tsubasa nggak seperti itu!
”Bagaimana? Kalian melewati saat-saat yang menyenangkan?” Sumire sengaja mengucapkannya di depan Rihito.
Aku dan Tsubasa menggeleng dengan muka memerah. ”Kami nggak pakai.”
”Belum dipakai?”
”Nggak akan.”
”Kalian harus menerima kebaikan orang lain, dong!”
”Sumire, suaramu terlalu besar.”
”Kupikir kalian sudah memakainya. Ini kukasih lagi.” Dari dalam tasnya, Sumire mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih.
”Sudahlah. Kami nggak perlu pakai itu.”
”Jangan malu-malu. Papaku juga sudah kasih izin.”
”Kami nggak ada rencana kesana.”
Bagaimana sih papanya Sumire? Ayah dan anak sama saja. Kami kan baru kelas tiga SMP.
”Bukan apa-apa!” sahutku panik.
”Kenapa kamu, Kaho? Nggak ada yang perlu disembunyiin, kan?” Suara Rihito menajam.
”Payah nih, Sumire! Aku dikasih juga, dong!” Rihito merebut kupon itu dari tangan Sumire.
”Nggak boleh!” Dengan panik kurebut amplop itu dari Sumire dan langsung memasukkannya ke dalam tasku.
”Kenapa kamu, Kaho?”
”Ini rahasia cewek. Ya, kan Sumire?”
”Ya.” Sumire tertawa mengejek. ”Hihiiii ternyata Kaho mau juga kuponnya.”
”Bu, bukan begitu...”
”Pulang, yuk!” teriak Sumire, lalu mengibaskan ujung rok seragamnya.
”Sampai jumpa!” kata semua sambil melambaikan tangan.
Aku menghela napas panjang.
”Payah sekali Sumire,” gerutu Tsubasa sambil menggaruk kepalanya.
”Ya.” Aku menghela napas panjang lagi.
Siang hari di bulan Juni rasanya memang sangat panjang. Meskipun sudah sore, tapi masih terang. Tanaman di pinggir jalan berkilauan memantulkan warna hijaunya. Udara terasa lembab.
Tahun ini juga aku harus mengucapkan selamat tinggal pada klub sepak bola. Sebenarnya aku nggak mau. Perasaanku jadi sedih kalau mengingatnya. Dimanakah aku berada tahun depan? Apa ada SMA yang bisa dimasuki oleh anak bodoh sepertiku?
Tsubasa bilang kalau dia ingin aku masuk SMA yang sama dengannya. Aku senang mendengarnya tetapi sebenarnya tingkat kepintaran kami berbeda. Seperti jurang antara mimpi dan kenyataan.
” Kaho, ayo pulang!”
”Ya.” Aku mengangguk
Poni Tsubasa menutupi dahinya. Dia tersenyum. Aku sangat suka senyumnya itu. Seperti biasa, aku dan Tsubasa berjalan beriringan.
” Kaho, bagaimana kalau kita mampir ke toko buku?”
”Ayo!”
”Aku mau membeli buku referensi.”
”Wah, mau belajar untuk ujian, ya?”
”Tentu saja. Siapa dulu, Tsubasa!”
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara tinggi yang manja dan manis seperti permen. Aku dan Tsubasa menoleh dan melihat lima orang anak cewek berseragam SMP yang sama denganku.


Mereka tampak seperi anak kelas satu.
”Ayo, cepat!”
”Ayo, bilang!”
Mereka berlima saling sikut-menyikut dengan pipi memerah.
”Nggak, ah! Malu!”
Mereka berlima ribut sendiri. Salah satu dari mereka berkata, ”Kami semua penggemar Kak Tsubasa. Selamat berjuang untuk pertandingan terakhir nanti, ya!”
Hm, pertandingan terakhir. Tetapi bagi kami murid kelas tiga, pertandingan bulan Juni ini merupakan upacara terakhir.
”Bolehkah kami berfoto bersama Kakak?”
Lalu mereka menggerumuni Tsubasa. Tsubasa sampai terkejut. Aku terdorong sampai jatuh ke aspal. Pada saat yang bersamaan terdengar suara blitz kamera.
“Terima kasih!” kata anak-anak itu.
Mereka berteriak-teriak sambil melarikan diri.
” Kaho, kamu nggak apa-apa?” Dengan panik Tsubasa berjongkok melihat keadaanku. ”Kejamnya mereka!” Tsubasa mengulurkan tangan.
Sesaat aku merasa sedih lalu mencoba berdiri lalu menepuk-nepuk rokku untuk menepiskan pasir dan debu.
”Kamu terluka?”
”Nggak kok, sudahlah. Ayo, kita ke toko buku.”
”Ya.”
Toko buku itu ada di sebelah sekolah. Bangunannya terdiri dari dua lantai dan cukup luas. Tanpa kebingungan aku dan Tsubasa langsung masuk ke lantai satu dan menuju ke sudut yang terdalam, tempat buku referensi ujian.
Setelah mengambil buku referensi bahasa Inggris, Tsubasa membukanya. Aku membuka-buka secara acak buku panduan SMA di Jakarta.
“Mau masuk SMA mana?”
“Hm, yang mana ya?”
“Mau negeri atau swasta?”
Obrolan seperti itu membuatku agak tertekan. Aku memang merindukan hari-hari di SMA tetapi agak cemas memikirkan bagaimana kalau tidak lulus ujian sehingga tidak bisa masuk SMA manapun. Raporku tampaknya tidak bagus. Harapan dan kecemasan bercampur dalam hati.
Tampaknya tidak mungkin aku satu SMA dengan Tsubasa karena aku tidak sepintar dia. Tsubasa murid pandai dan selalu masuk peringkat tiga besar. Sedangkan aku masuk peringkat menengah ke bawah saja.
Aku tidak mau kalau Tsubasa menurunkan target SMA yang diinginkannya hanya demi aku. Makanya akulah yang harus berusaha supaya bisa masuk ke SMA yang sama.
”Sekolah ini seragamnya cantik. Model Sailor.” Aku menatap katalog halaman yang berwarna.
”Kalau aku lebih suka seragam blazer yang di sampingnya.”
”Kalau begitu aku pilih sekolah ini.”
”Nggak boleh!”
Kami berdua tertawa.
Tiba-tiba Tsubasa bersembunyi di balik rak buku.
“Ada apa?”
“Lihat di balik pintu!” bisiknya.
Aku melihat sekelompok anak kelas satu tadi memasuki toko buku.
“Bisa runyam kalau ketahuan,” kata Tsubasa lalu menarik tanganku. Aku pun bersembunyi di balik rak buku.
Anak-anak itu memasuki toko buku dengan ribut. Obrolan mereka terdengar sampai sini.
”Kita dapat fotonya Kak Tsubasa!”
“Cepat dicetak!”
“Oke, oke!”
Mereka tampak sangat gembira.
“Hei, yang tadi bersama Kak Tsubasa, manajer klub sepak bola, kan?” kata seorang dari mereka.
Deg. Mereka membicarakanku.
“Ya. Dia pacarnya Kak Tsubasa.”
“Masa?”
“Dia tidak penting.”
“Cuma debu.”
“Ya, ya!”
“Dia tidak cocok dengan Kak Tsubasa.”
Glek!? Debu? Mereka kan tidak perlu mengucapkannya.
“Hm, apa ya peribahasanya?”
“Memberi mutiara kepada babi.”
“Memberi uang kepada kucing.”
Lalu semua tertawa. Peribahasa itu semua berarti melakukan hal yang sia-sia karena memberikan barang berharga kepada sesuatu yang tidak bisa menghargainya. Kejam!
“Daripada dia lebih cantik aku, kan?”
“Ya. Jelas Hinata lebih cantik!”
“Aku akan merebut Tsubasa darinya!”
Bicara apa dia? Terlalu percaya diri.
Anak yang disebut Hinata tadi berambut bob model pendek dengan aksen poni yang jatuh sampai alis matanya. Sedikit dicat dengan warna cokelat. Senyumannya terlihat polos. Anak itu memang manis.
Kalau Sumire itu cewek idola, Hinata seperti seorang model. Cocok dengan nama mereka.
“Kaho, kita pergi, yuk!” Tsubasa menarik lenganku. ”Mereka tidak menyenangkan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar